Kisah Pahit Penulis Lepas - JONRU GINTING
Jonru Ginting, pendiri sekolah menulis online pertama di Indonesia. Foto; Priyo Handoko/Jawa Pos
Ide mendirikan sekolah menulis online ditemukan Jonru dalam situasi terpepet. Embrionya adalah website penulislepas.com yang selama enam tahun hanya menghasilkan Rp 500 ribu. Kini puluhan penulis profesional telah dihasilkan.
HARI merambat sore. Namun, pria berperawakan sedang dengan sebaris jenggot di dagu itu masih belum terlihat akan mengakhiri pekerjaannya. Pandangan matanya tampak fokus ke arah laptop. Tangannya asyik memainkan mouse.
Bersama seorang teman, Jonru tengah mematangkan format diskusi "kiat cepat menjadi penulis laris" yang akan diselenggarakan pada 26 November mendatang. Kebetulan Jonru menjadi pembicara. Dia akan dipanel dengan Arief Muhammad, penulis muda yang tengah naik daun berkat debut buku pertamanya: Poconggg Jadi Pocong. Hanya dalam setengah tahun, buku yang menyasar segmen remaja itu menjadi best seller dengan penjualan spektakuler menembus 200 ribu eksemplar.
Bagi Jonru, berbicara mengenai teknik dan seni tulis-menulis di hadapan publik bukan hal baru. Namanya sudah cukup familier, terutama di kalangan komunitas penulis. Jonru-lah pendiri website penulislepas.com yang mulai eksis awal 2001. Belakangan, melalui website itu, dia mengembangkan sekolah menulis online atau SMO.
"SMO ini layanan belajar menulis lewat internet yang pertama di Indonesia," kata Jonru bangga. "penulislepas.com juga menjadi website penulis terbesar dengan pengunjung paling banyak," imbuhnya.
Sudah lama Jonru tertarik dengan aktivitas penulisan. Selama menjadi mahasiswa akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, Jonru yang lulus pada 1998 itu aktif di pers kampus. Banyak tulisannya, terutama cerpen, yang dimuat di koran dan majalah. Bahkan, pada 2005, dua buku Jonru sukses beredar di pasaran. Salah satu di antaranya adalah kumpulan cerpen Cowok di Seberang Jendela yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House dan novel Cinta Tak Terlerai diterbitkan Mizan.
Perkenalannya dengan desain web dan grafis dimulai awal 2000 di Jakarta. Kebetulan dia diterima menjadi content editor untuk sebuah perusahaan internet service provider. Di sela-sela rutinitas kerja, Jonru "mencuri ilmu" untuk membuat web yang menarik.
"Saya pernah bermimpi punya media sendiri. Tapi, untu media cetak modalnya kan besar sekali. Akhirnya, lewat internet, saya bikin portal sendiri. Makanya, lahirlah penulislepas.com," ceritanya.
Lewat website, Jonru sekaligus merusaha mempromosikan bisnis pembuatan company profile. Cuma karena minim pengalaman dan belum punya portofolio yang cukup meyakinkan, bisnis yang dirintisnya itu tak berhasil meraih konsumen. Meski demikian, website penulislepas.com tetap bertahan. Salah satu di antaranya karena Jonru sendiri yang rajin mem-posting tulisannya ke web tersebut.
Sejak 2003, Jonru terpikir untuk menampung tulisan dari penulis lain. Kriterianya tak terlalu ketat. Yang penting "bisa dibaca". Temanya juga boleh apa saja, mulai soal politik hingga tip-tip unik. Hingga beberapa tahun, Jonru sempat kebanjiran artikel. Milis yang dibuatnya juga ramai dikunjungi. "Saking larisnya, sehari bisa sampai 20 orang yang kirim tulisan," ungkap Jonru.
Ketika blog sudah mewabah, artikel yang diterima Jonru terus menurun. "Sekitar 2010, dalam seminggu, paling dua tulisan yang masuk," kata pria kelahiran Kabanjahe, Sumatera Utara, 7 Desember 1970, itu.
Setelah tujuh tahun bekerja sebagai content editor di dua perusahaan yang berbeda, Jonru mencapai puncak rasa jenuhnya. Sebenarnya sudah tiga tahun rasa bosan itu menghantui Jonru. Namun, sang istri, Alifia Rasyida, belum merestui Jonru berhenti bekerja sebagai "orang kantoran". Jonru akhirnya mengalah. "Istri bilang jangan sekarang," kenang ayah tiga anak itu.
Menginjak 2007, Jonru semakin malas bekerja. Bukan gaji yang menjadi persoalan. Jonru pada dasarnya tidak suka bekerja untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan sebagai content editor terasa monoton. "Kebanyakan tinggal copy paste artikel yang terkait perusahaan dan memasangnya di portal. Kalaupun ada tulisan sendiri, hanya sesekali. Keterampilan menjadi tidak optimal. Tidak ada tantangan," ceritanya.
Kinerja Jonru di perusahaan menurun drastis. Bahkan, dia sudah menerima surat peringatan dua kali. "Kalau tetap bertahan, paling September 2007 sudah di PHK. Nah, daripada di PHK, lebih baik keluar," ujarnya, lantas tersenyum kecut. Keberanian Jonru meninggalkan pekerjaannya semakin termotivasi setelah dia mendapat tawaran dari seorang rekannya untuk menggarap proyek pembuatan website Departemen Agama.
Merasa fee yang ditawarkan terbilang lumayan besar, Jonru memutuskan keluar dari perusahaannya. Hari bersejarah itu adalah 19 Maret 2007. Tapi, malang buat Jonru. Proyek yang dijanjikan tak kunjung konkret. Sementara website penulislepas.com belum memberinya income yang signifikan.
Selama tujuh tahun berdiri baru sekali ada yang memasang iklan. Harganya pun hanya Rp 500 ribu. Oleh Jonru, uang itu lantas dibagikan ke sejumlah penulis yang rutin mengirimkan tulisan ke website.
Tapi, Jonru tak mengeluh. Meski sempat bingung, dia tetap optimistis. Di tengah situasi yang terpepet dan uang tabungan menipis, Jonru mendapat ide mendirikan sekolah menulis online (SMO). Selama mengelola website penulislepas.com, kata Jonru, banyak orang mengeluh mengapa latihan penulisan kebanyakan di Jakarta. Dia lantas terpikir untuk membuat pelatihan penulisan yang bisa menjangkau semua orang.
"Sewaktu mulai dibuka pada Agustus 2007, yang daftar 35 orang. Karena masih baru dan belum tahu bakal laku, saya hanya mematok tarif Rp 95 ribu per bulan untuk setiap orang," tuturnya.
Durasi pelatihan sekaligus "pendampingan" dilakukan selama enam bulan. Kurikulum pelatihan dibuat berdasar pengalaman Jonru sendiri yang pernah mengisi sejumlah pelatihan menulis.
"Saya kirim silabusnya lewat e-mail. Kemudian, peserta pelatihan harus membuat tulisan yang dikonsultasikan kepada saya secara online," tuturnya.
Pada 2008, buku Jonru yang berjudul Menerbitkan Buku Itu Gampang dicetak penerbit Tiga Serangkai. Seperti judul buku itu, puluhan alumnus SMO yang "berguru" kepada Jonru juga sukses menerbitkan buku. Sebut saja Ning Harmanto, pendiri PT Mahkota Dewa, yang telah menulis 18 buku mengenai herbal. "Beliau angkatan pertama SMO tahun 2007," kata Jonru.
Ada juga Hartati Nur Wijaya, orang Indonesia yang tinggal di Yunani. Hingga sekarang, menurut Jonru, Hartati telah menerbitkan enam buku. Ada soal perkawinan antarbangsa, cara mencegah penyakit kanker, hingga cara mencegah selingkuh dan cerai. Sedangkan Syasya Azisya melahirkan buku berjudul Rich Mom, Poor Mom.
"Buku Faiz Yusuf yang berjudul Rahasia Jadi Entrepreneur Muda juga langsung best seller," ujar Jonru yang baru saja merilis buku keempatnya, Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat.
Kerja keras dan konsistensi Jonru kini mulai membuahkan hasil. Sejak awal 2011, SMO resmi melebur ke Manajemen Oxford Course Indonesia, sebuah lembaga penyelenggara kursus bahasa Inggris pertama di Indonesia. SMO lantas berubah nama menjadi Writers Academy dan Jonru langsung dipercaya menjadi CEO.
Tapi, apa hubungan lembaga bahasa Inggris dengan pelatihan penulisan" Jonru menjelaskan, Bambang Marsono, pendiri Manajemen Oxford Course Indonesia, memang memiliki passion di bidang pendidikan. Semua usahanya bahkan bergerak di bidang itu. Ketika mendengar kiprah SMO, Bambang merasa tertarik. "Kapan lagi bisa bekerja sama dengan perusahaan besar. Maka, jadilah," kata Jonru, lantas tertawa lepas.
Sekarang konsep website penulislepas.com telah dirombak. Kalau dulu tulisan apa saja bisa masuk, kini temanya khusus terkait penulisan saja. Konstributor tulisan juga dibatasi hanya untuk alumni SMO dan Writers Academy yang sudah menerbitkan buku. "Sebagai kompensasi, saya beri keleluasan kalau mau promosi bukunya, tidak bayar," ujarnya.
Dengan berubah menjadi Writers Academy, fokus Jonru sekarang adalah kelas tatap muka. "Sekarang saya tidak bingung tempat lagi. Saya bisa menggunakan cabang Oxford Course se-Indonesia."
Kelas online tetap dibuka, namun bukan lagi prioritas. Apalagi, pesaing pelatihan menulis secara online sudah semakin banyak. Di lain sisi, orang yang ingin belajar menulis secara online terus berkurang. "Banyak alumni SMO yang sekarang juga mendirikan bisnis yang sama," kata Jonru.
Sejak SMO berubah nama menjadi Writers Academy, Jonru sudah mengadakan empat angkatan pelatihan menulis. Peminatnya lumayan banyak. Untuk kelas pemula, tarifnya Rp 495 ribu. "Sementara pelatihannya masih di Jakarta. Jangka panjang se-Indonesia," ujarnya.
Sumber :JPNN
Ide mendirikan sekolah menulis online ditemukan Jonru dalam situasi terpepet. Embrionya adalah website penulislepas.com yang selama enam tahun hanya menghasilkan Rp 500 ribu. Kini puluhan penulis profesional telah dihasilkan.
HARI merambat sore. Namun, pria berperawakan sedang dengan sebaris jenggot di dagu itu masih belum terlihat akan mengakhiri pekerjaannya. Pandangan matanya tampak fokus ke arah laptop. Tangannya asyik memainkan mouse.
Cari Juga
Bersama seorang teman, Jonru tengah mematangkan format diskusi "kiat cepat menjadi penulis laris" yang akan diselenggarakan pada 26 November mendatang. Kebetulan Jonru menjadi pembicara. Dia akan dipanel dengan Arief Muhammad, penulis muda yang tengah naik daun berkat debut buku pertamanya: Poconggg Jadi Pocong. Hanya dalam setengah tahun, buku yang menyasar segmen remaja itu menjadi best seller dengan penjualan spektakuler menembus 200 ribu eksemplar.
Bagi Jonru, berbicara mengenai teknik dan seni tulis-menulis di hadapan publik bukan hal baru. Namanya sudah cukup familier, terutama di kalangan komunitas penulis. Jonru-lah pendiri website penulislepas.com yang mulai eksis awal 2001. Belakangan, melalui website itu, dia mengembangkan sekolah menulis online atau SMO.
"SMO ini layanan belajar menulis lewat internet yang pertama di Indonesia," kata Jonru bangga. "penulislepas.com juga menjadi website penulis terbesar dengan pengunjung paling banyak," imbuhnya.
Sudah lama Jonru tertarik dengan aktivitas penulisan. Selama menjadi mahasiswa akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, Jonru yang lulus pada 1998 itu aktif di pers kampus. Banyak tulisannya, terutama cerpen, yang dimuat di koran dan majalah. Bahkan, pada 2005, dua buku Jonru sukses beredar di pasaran. Salah satu di antaranya adalah kumpulan cerpen Cowok di Seberang Jendela yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House dan novel Cinta Tak Terlerai diterbitkan Mizan.
Perkenalannya dengan desain web dan grafis dimulai awal 2000 di Jakarta. Kebetulan dia diterima menjadi content editor untuk sebuah perusahaan internet service provider. Di sela-sela rutinitas kerja, Jonru "mencuri ilmu" untuk membuat web yang menarik.
"Saya pernah bermimpi punya media sendiri. Tapi, untu media cetak modalnya kan besar sekali. Akhirnya, lewat internet, saya bikin portal sendiri. Makanya, lahirlah penulislepas.com," ceritanya.
Lewat website, Jonru sekaligus merusaha mempromosikan bisnis pembuatan company profile. Cuma karena minim pengalaman dan belum punya portofolio yang cukup meyakinkan, bisnis yang dirintisnya itu tak berhasil meraih konsumen. Meski demikian, website penulislepas.com tetap bertahan. Salah satu di antaranya karena Jonru sendiri yang rajin mem-posting tulisannya ke web tersebut.
Sejak 2003, Jonru terpikir untuk menampung tulisan dari penulis lain. Kriterianya tak terlalu ketat. Yang penting "bisa dibaca". Temanya juga boleh apa saja, mulai soal politik hingga tip-tip unik. Hingga beberapa tahun, Jonru sempat kebanjiran artikel. Milis yang dibuatnya juga ramai dikunjungi. "Saking larisnya, sehari bisa sampai 20 orang yang kirim tulisan," ungkap Jonru.
Ketika blog sudah mewabah, artikel yang diterima Jonru terus menurun. "Sekitar 2010, dalam seminggu, paling dua tulisan yang masuk," kata pria kelahiran Kabanjahe, Sumatera Utara, 7 Desember 1970, itu.
Setelah tujuh tahun bekerja sebagai content editor di dua perusahaan yang berbeda, Jonru mencapai puncak rasa jenuhnya. Sebenarnya sudah tiga tahun rasa bosan itu menghantui Jonru. Namun, sang istri, Alifia Rasyida, belum merestui Jonru berhenti bekerja sebagai "orang kantoran". Jonru akhirnya mengalah. "Istri bilang jangan sekarang," kenang ayah tiga anak itu.
Menginjak 2007, Jonru semakin malas bekerja. Bukan gaji yang menjadi persoalan. Jonru pada dasarnya tidak suka bekerja untuk orang lain. Selain itu, pekerjaan sebagai content editor terasa monoton. "Kebanyakan tinggal copy paste artikel yang terkait perusahaan dan memasangnya di portal. Kalaupun ada tulisan sendiri, hanya sesekali. Keterampilan menjadi tidak optimal. Tidak ada tantangan," ceritanya.
Kinerja Jonru di perusahaan menurun drastis. Bahkan, dia sudah menerima surat peringatan dua kali. "Kalau tetap bertahan, paling September 2007 sudah di PHK. Nah, daripada di PHK, lebih baik keluar," ujarnya, lantas tersenyum kecut. Keberanian Jonru meninggalkan pekerjaannya semakin termotivasi setelah dia mendapat tawaran dari seorang rekannya untuk menggarap proyek pembuatan website Departemen Agama.
Merasa fee yang ditawarkan terbilang lumayan besar, Jonru memutuskan keluar dari perusahaannya. Hari bersejarah itu adalah 19 Maret 2007. Tapi, malang buat Jonru. Proyek yang dijanjikan tak kunjung konkret. Sementara website penulislepas.com belum memberinya income yang signifikan.
Selama tujuh tahun berdiri baru sekali ada yang memasang iklan. Harganya pun hanya Rp 500 ribu. Oleh Jonru, uang itu lantas dibagikan ke sejumlah penulis yang rutin mengirimkan tulisan ke website.
Tapi, Jonru tak mengeluh. Meski sempat bingung, dia tetap optimistis. Di tengah situasi yang terpepet dan uang tabungan menipis, Jonru mendapat ide mendirikan sekolah menulis online (SMO). Selama mengelola website penulislepas.com, kata Jonru, banyak orang mengeluh mengapa latihan penulisan kebanyakan di Jakarta. Dia lantas terpikir untuk membuat pelatihan penulisan yang bisa menjangkau semua orang.
"Sewaktu mulai dibuka pada Agustus 2007, yang daftar 35 orang. Karena masih baru dan belum tahu bakal laku, saya hanya mematok tarif Rp 95 ribu per bulan untuk setiap orang," tuturnya.
Durasi pelatihan sekaligus "pendampingan" dilakukan selama enam bulan. Kurikulum pelatihan dibuat berdasar pengalaman Jonru sendiri yang pernah mengisi sejumlah pelatihan menulis.
"Saya kirim silabusnya lewat e-mail. Kemudian, peserta pelatihan harus membuat tulisan yang dikonsultasikan kepada saya secara online," tuturnya.
Pada 2008, buku Jonru yang berjudul Menerbitkan Buku Itu Gampang dicetak penerbit Tiga Serangkai. Seperti judul buku itu, puluhan alumnus SMO yang "berguru" kepada Jonru juga sukses menerbitkan buku. Sebut saja Ning Harmanto, pendiri PT Mahkota Dewa, yang telah menulis 18 buku mengenai herbal. "Beliau angkatan pertama SMO tahun 2007," kata Jonru.
Ada juga Hartati Nur Wijaya, orang Indonesia yang tinggal di Yunani. Hingga sekarang, menurut Jonru, Hartati telah menerbitkan enam buku. Ada soal perkawinan antarbangsa, cara mencegah penyakit kanker, hingga cara mencegah selingkuh dan cerai. Sedangkan Syasya Azisya melahirkan buku berjudul Rich Mom, Poor Mom.
"Buku Faiz Yusuf yang berjudul Rahasia Jadi Entrepreneur Muda juga langsung best seller," ujar Jonru yang baru saja merilis buku keempatnya, Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat.
Kerja keras dan konsistensi Jonru kini mulai membuahkan hasil. Sejak awal 2011, SMO resmi melebur ke Manajemen Oxford Course Indonesia, sebuah lembaga penyelenggara kursus bahasa Inggris pertama di Indonesia. SMO lantas berubah nama menjadi Writers Academy dan Jonru langsung dipercaya menjadi CEO.
Tapi, apa hubungan lembaga bahasa Inggris dengan pelatihan penulisan" Jonru menjelaskan, Bambang Marsono, pendiri Manajemen Oxford Course Indonesia, memang memiliki passion di bidang pendidikan. Semua usahanya bahkan bergerak di bidang itu. Ketika mendengar kiprah SMO, Bambang merasa tertarik. "Kapan lagi bisa bekerja sama dengan perusahaan besar. Maka, jadilah," kata Jonru, lantas tertawa lepas.
Sekarang konsep website penulislepas.com telah dirombak. Kalau dulu tulisan apa saja bisa masuk, kini temanya khusus terkait penulisan saja. Konstributor tulisan juga dibatasi hanya untuk alumni SMO dan Writers Academy yang sudah menerbitkan buku. "Sebagai kompensasi, saya beri keleluasan kalau mau promosi bukunya, tidak bayar," ujarnya.
Dengan berubah menjadi Writers Academy, fokus Jonru sekarang adalah kelas tatap muka. "Sekarang saya tidak bingung tempat lagi. Saya bisa menggunakan cabang Oxford Course se-Indonesia."
Kelas online tetap dibuka, namun bukan lagi prioritas. Apalagi, pesaing pelatihan menulis secara online sudah semakin banyak. Di lain sisi, orang yang ingin belajar menulis secara online terus berkurang. "Banyak alumni SMO yang sekarang juga mendirikan bisnis yang sama," kata Jonru.
Sejak SMO berubah nama menjadi Writers Academy, Jonru sudah mengadakan empat angkatan pelatihan menulis. Peminatnya lumayan banyak. Untuk kelas pemula, tarifnya Rp 495 ribu. "Sementara pelatihannya masih di Jakarta. Jangka panjang se-Indonesia," ujarnya.
Sumber :JPNN
Comments
Post a Comment