Jangan Jadi Penulis Sebelum Paham 10 Perkara ini - JONRU GINTING
"Reading and writing, like everything else, improve with practice. And, of course, if there are no young readers and writers, there will shortly be no older ones. Literacy will be dead, and democracy - which many believe goes hand in hand with it - will be dead as well." -- Margaret Atwood
INDUSTRI KREATIF - Namanya Ichiyo, seorang penulis dari Jepang. Sejarah menintakannya sebagai satu-satunya perempuan yang sosoknya menghias mata uang kertas 5000 Yen Jepang. Kiprahnya tentu tak biasa hingga ia mendapatkan podium langka yang tak didapat oleh semua perempuan Jepang itu.
Ichiyo terlahir pada tahun 1872, dengan nama asli Natsuko. Pada usianya yang sebelas tahunlah Natsuko mengganti namanya menjadi Ichiyo yang berarti “sehelai daun”. Anggapannya, nama Natsuko terlalu biasa, sedangkan nama Ichiyo justru bisa menginspirasinya dalam menulis. Ia memiliki kemampuan langka seorang penulis: kenaturalan dan gaya bahasa klasik Jepang yang elegan.
Sepanjangan 1895-1896, lima novel terlahir dari rahim karyanya: On the Last Day of the Year, Trouble Waters, The Thirteenth Night, Child’s Play, dan Separate Ways. Di antara semuanya, Child’s Play merupakan salah satu novelnya yang terhujani pujian dengan derasnya. Setelah semua talentanya tertumpah itu, Ichiyo meninggal pada tahun 1896 dalam kasus kesehatan yang sama dengan ayah dan kakaknya: TBC.
Kebesaran jiwanya, kekuatan tekadnya untuk terus memperjuangkan pilihan hidupnya, dedikasinya atas berkarya serta keberaniannya untuk menyalakan lentera jiwanya menjadi harta tak ternilai bagi generasi setelahnya. Kekayaannya melampui lingkaran masa dan warsa.
Di balik rerimbun hutan terpekat hidup Ichiyo, ia masih percaya di sana terlarik udara segar. Selalu ada harapan dan cahaya terang di ujungnya.
Untukmu yang ingin mengabdi jalan hidupnya untuk berkarya dengan menjadi penulis, kisah Ichiyo haruslah menjadi salah satu pembakar niat, bahwa dalam perjalanannya, engkau tak boleh menyerah dan harus memberikan yang terbaik. Mental seperti itulah yang dibutuhkan seorang penulis. Sebuah mental yang akan membuatmu tak sekadar bertahan satu-dua tahun dalam jagat literasi, namun hingga melintas masa, generasi, dan juga peradaban.
Lalu, setelah mental itu terpunyai, apalagi yang harus dipersiap diri? Sepuluh hal berikut ini, semoga menjadi inspirasi dan tiang yang harus senantiasa engkau erati.
Satu, Hadirkan Sajian Ternikmat
Seperti koki terbaik. Ia meramu bumbu demi bumbu dengan hati-hati. Ia meracik bahan demi bahan dengan sangat telaten. Ia ingin menghadirkan yang terbaik bagi para penikmat masakannya. Ia melakukan itu semua bukan untuk menjaga namanya agar tetap harum, namun karena ia menikmati proses pembuatannya, dan ia menghargai para penikmat masakannya. Maka, ia harus menghadirkan yang terbaik untuk mereka.
Sebegitu pula dengan menulis. Sebenarnya, cacat pada satu kata yang kemudian salah ketik dan hurufnya menjadi berbalik atau berkurang, bukanlah suatu cela besar. Akan tetapi, bagi para penulis yang menikmati prosesnya dan menghargai pembacanya, ia akan menghadirkan susunan kata terbaik yang ia punya. Walau terkadang proses itu membutuhkan waktu yang panjang dan ketelitian yang rumit. Tapi sekali lagi, ia menikmati dan menghargai.
Lorraine Monroe, menulis dalam bukunya Nothing’s Impossible, “Good works will be recognized-ultimately. But if you work for the recognition alone, you may be in for a long wait. Setiap pekerjaan yang baik, pada akhirnya akan mendapatkan pengakuan. Tetapi sebaliknya, jika kita bekerja untuk mendapatkan pengakuan, barangkali kita akan berada pada saat yang sangat panjang.”
Begitulah, kerja-kerja yang bagi orang lain mungkin terlihat membosankan dan membuang-buang waktu itu, bagi para pelakunya justru kenikmatan untuk menghadirkan karya unggul yang anggun.
“Apa pun yang datangnya dengan cara yang mudah,” kata Sa’di, penyair legendaris itu, “tidak akan berumur lama. Di China membutuhkan waktu empat puluh tahun untuk mencetak sebuah mangkuk. Sementara di Baghdad, mereka membakar seratus buah setiap hari dan engkau tahu perbedaannya terletak pada harga dan kualitasnya.”
Dua, Buat Tulisanmu Lebih Berdaya
Jika ingin mengeluarkan yang terbaik, asupilah diri sendiri dengan hal-hal yang baik. Sebegitu pula saat ingin menghadirkan kekata yang mempesona. Asupilah diri ini dengan asupan literasi yang memadai.
Bangunlah wilayah untuk diri sendiri. Wilayah yang semua isinya adalah dunia literasi. Itu akan memberikan pengaruh yang luar biasa dan memesatkan kemampuan kita. Setelah itu, kita bisa memberdaya kata-kata yang kita torehkan dengan lebih apik.
Bagaimana caranya?
Pertama, libatkan diri ke dalam masalah yang sedang kita tulis. Menjadi lebih intuitif, bukan sekadar interpretatif. Kita menghadirkan rasa-rasa yang kita punya ke pembaca, bukan sekadar menghadirkan data-data yang membuat mereka pusing kepala.
Kedua, tergila-gilalah membaca. Ada dua jenis. Absorber reader, membaca untuk menyerap isinya. Ini akan membuat kita kaya akan data. Dan reviewer reader, membaca untuk menilai, memberi komentar, memberi catatan. Ini akan membuat kita kebanjiran gagasan yang sebegitu banyak.
Ketiga, cinta dengan aktivitas menulis. “If you don’t love the work you’re doing, you get sick—phisically, mentally, or spiritually. Eventually, you’ll make others sick, too. Jika kamu tidak mencintai pekerjaan yang sedang kamu lakukan, kamu akan sakit—secara fisik, mental, atau spiritual. Bahkan, bisa jadi kamu akan membuat orang lain ikut sakit pula,” tulis Lorraine Monroe. Lalu beringatlah, saat dalam menulis kita merasa mumet menghadirkan kata, jangan-jangan pembaca akan mumet pula.
Cintailah, rasakan dalam-dalam, dan alirkanlah kekuatan jiwa. Hadirkan sesuatu yang berharga untuk pembaca. Itu akan membuat kata lebih berdaya.
Tiga, Jangan Lupa Mainkan Imajinasi Sesukamu
Pada beberapa dasawarsa, nama Jules Verne disanjung-sanjung para ilmuwan. Padahal, ia adalah seorang penulis, bukan ilmuwan. Mengapa? Karena karya-karya sastranya adalah jenis fiksi yang merangkum imajinasi dengan kemungkinan penalaran ilmiah. Tergelarilah ia sebagai Bapak Fiksi Ilmiah, karena kita dapati dalam novel-novelnya, Verne telah dianggap menemukan bom atom sebelum Einstein, merancang balon terbang sebelum Zeppelin, serta mengangankan pesawat terbang dan helikopter sebelum Wright.
Verne benar-benar menulis sesuatu yang belum ada di zamannya. Tapi baginya, itu bukan hanya rekaan semata, karena ia tahu, apa yang dibayangkannya saat itu, orang lain akan mewujudkannya di masa depan.
Saking masyhurnya Verne antara tahun 1873 hingga 1886, bukunya menjadi primadona di mana-mana, dan di kalangan apa saja. Tak tanggung-tanggung, bahkan Paus Leo XIII menjamunya secara khusus, dan jalanan kharismatik Roma pun tertulis besar-besar dengan iringan kembang api, Eviva Gualio Verne, yang berarti Panjang Umurlah Verne saat menyambut kedatangannya di sana.
Seperti janjinya di waktu kecil, perjalanan menulis Verne memang penuh dengan imajinasi dalam karya-karyanya. Akan tetapi, di balik imajinasinya, terkandung kebenaran-kebenaran ilmiah yang terbukti bahwa hal tersebut memang mungkin diadakan di masa depan. Serunya lagi, Verne mempunyai sebutan untuk penggemarnya sendiri, yaitu Vernian.
Dalam Twenty Thousand Leagues Under the Sea, Kapten Nemo dengan Nautilusnya yang mengolah listrik dari air laut, menyelam di bawah es menuju Kutub Selatan itu, dalam delapan puluh delapan tahun kemudian, angkatan laut AS meluncurkan kapal selam nuklir yang diberi nama Nautillus, yang digunakan untuk melakukan penyelaman ke kutub Utara.
Seperti Verne, bermain-mainlah dengan imajinasi, karena itu adalah kendaraan yang membawa kita terbang tinggi melambungkan karya. Dan tak ada yang salah dengan itu.
Empat, Gunakan Gaya Menulismu Sendiri
Kita terlahir dengan segala keunikan yang menyerta. Kita boleh menulis dengan tema yang sama dengan yang orang lain kerjakan, tapi tidak dalam cara kita memaknai, mengemas, dan juga menuturkan.
Mengapa kita harus menjiplak gaya penulis lain? Biarlah mereka tetap dengan gaya mereka. Kita bangun gaya sendiri. Menjadikan mereka inspirasi itu berbeda dengan duplikasi. Jika kita ingin menjadikan mereka menjadi lompatan awal prestasi, maka kita gunakan benchmarking, yaitu sikap total addicted dengan penulis pujaan.
Suka dengan gaya menulisnya J.K. Rowling pengarang serial Harry Potter itu? Maka, bacalah semua buku-bukunya. Perhatikan benar bagaimana cara dia membangun kalimat. Cara dia meletakkan titik dan komanya. Cara dia membuka dan menutup paragraf. Cara dia membangun karakter. Cara dia mengatur setting yang apik. Cara dia mengejutkan pembaca dengan hal-hal seru. Jadilah kecanduan benar dengan semua yang berhubungan dengan dia. Kuasai semua. Jadilah mata-mata untuk semua karya-karyanya. Baik itu berupa buku ataupun hanya sekadar artikel darinya.
Setelah semua itu dilakukan, timang-timang, serap, saring, kemudian campurkan dengan gaya kita sendiri. Kita berguru kepadanya, kemudian mengolah dengan kanuragan kita sendiri. Kita mengupas habis keunggulannya, kemudian dipadukan dengan keunggulan kita sendiri. Di dua keunggulan yang tergabung menjadi satu itulah, kita melakukan lompatan prestasi.
Nalarnya sederhana. Saat pembaca memegang erat karyamu, mereka sedang ingin membaca karya kamu, bukan karya J.K. Rowling. Tapi, bila kau menggunakan mentah-mentah cara J.K. Rowling, untuk apa mereka membaca karyamu? Seharusnya mereka langsung membaca karya Rowling. Sederhana sekali.
Lima, Hindarkan Diri Dari Penyakit Susah Melejit
Ada dua macam penyakit yang membuat kita tak pernah melejit.
Pertama, banyak mengeluh. Banyak mengeluh berarti selalu menyalahkan sendiri akan kerja dan kualitas diri. Tak pernah memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk memulai dan mengakhiri menulis. Selalu merasa lebih jelek hingga tak pernah berani menulis.
Kedua, cepat puas. Menulis tidak mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat itu. Cepat beranggapan demikian, “Ah, banyak yang lebih jelek dari ini juga bisa terbit.” Menulis bukan tentang seperti itu, tetapi bagaimana menantang diri sendiri untuk mencapai tahap yang lebih baik, memiliki keterampilan yang lebih anggun dan menarik.
Jika kita sudah memiliki sikap mental yang baik dalam menulis, apapun akan menjadi sangat nikmat dalam prosesnya. Dan tunggulah keajaiban-keajaiban yang hadir, saat kita sudah totalitas di dalamnya. Akan banyak kejutan yang di luar jangkauan nalar kita.
Enam, Benarkah Menulis Telah Menjadi Passion-mu?
“Aku tidak menunggu mood,” kata Pearl S. Buck, “kita tidak akan mencapai apapun jika mengandalkan kondisi semacam itu. Pikiran kita harus tahu kapan ia harus bekerja .…”
Kalimat itu meluncur dari sosok yang mendapatkan hadiah nobel untuk sastra pada tahun 1938. Ia, setelah menikahi seorang ahli pertanian pada tahun 1917 di China, mendapatkan seorang putri manis empat tahun kemudian. Sayangnya, sang putri menderita fenilketonuria, penyakit langka yang menyebabkan retardasi mental. Tapi dari peristiwa itu, ia justru terinspirasi untuk menyuguhkan The Child Who Never Grew kepada para pembaca.
Sebagai karya terbaiknya, dunia sepakat dengan The Good Earth, yang langsung terjual 1.800.000 eksemplar pada tahun pertama tersebut. Sebuah pencapaian mencengangkan dan tak disangka. Novel ini bertahan dalam daftar best seller selama 21 bulan, dan memenangi penghargaan Pulitzer sebagai novel terbaik pada tahun itu. Beberapa novelnya kemudian dialihkan menjadi film, termasuk The Good Earth, Dragon Seed, China Sky, dan The Devil Never Sleeps.
Empat puluh tahun malang-melintangnya dalam dunia menulis, telah mencatatkan delapan puluh karya, termasuk novel, skenario, kumpulan cerpen, puisi, buku anak-anak, dan juga biografi. Bagaimana ia melakukannya? It’s crafted with passion.
Passion bukanlah hobi. Tapi lebih ke segala hal yang kita sukai dan minati sedemikian rupa, hingga di sepanjang hidup ini kita tak pernah terpikir untuk tidak melakukannya, atau melewatkan hari-hari tanpa mengerjakannya. Benarkah kemudian, jalan menulis memang benar-benar telah menjadi passion-mu?
Tanyalah terus hal itu pada diri sendiri. Karena bila kita jatuh dalam kondisi ini: no joy working, no passion, and no purpose of life, maka akan lebih sering macet di tengah jalan, saat karyanya tak jua selesai dituliskan apalagi diterbitkan—karena memang passion adalah bahan bakar.
Tujuh, Apresiasi Pekarya Lain
Tidak mudah untuk menulis yang sesuai dengan pembaca sasaran, walau kelihatannya persoalan ini gampang dan sepele. Menulis buku remaja misalnya, tak mudah mencipta kalimat gaul hingga alay ala keseharian mereka. Begitu pula buku humor, tak mudah mentera kata dengan susunan lawakan berbalut set up dan punch line yang pas; garing tapi lucu; jayus tapi bikin ngakak; wagu tapi bikin ketawa guling-guling.
Maka, jangan pernah meremehkan seseorang yang telah menulis. Sungguh tak mudah menyusun huruf yang jumlahnya tak seberapa itu menjadi berhalaman-halaman.
Delapan, Menulislah Seperti Para Legenda
Hemingway memuji sosok ini habis-habisan, bahkan Hemingway menempatkannya sebagai sosok inspiratif dalam dunia kepenulisan. “Jujur saja,” begitu kata Hemingway, “seluruh cerita Amerika modern sesungguhnya cuma berasal dari dari satu buku, The Adventure of Huckleberry Finn, karya dari Mark Twain.”
Mungkin Hemingway tak terlalu berlebihan. Sosok ini, yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens, atau lidah kita sudah terbiasa menyebut nama penanya dengan Mark Twain, memanglah istimewa. Terlahir di Florida, dan berlincah-lincah menuju usia dewasanya di Mississippi. Praktis, lingkungan perkapalan itu pun memengaruhi cita-citanya: menjadi seorang juru mudi kapal. Cita-citanya memang benar-benar terwujud. Akan tetapi, ketika tengah pecah perang saudara di tahun 1861-1865, ia justru merubah kemudi hidupnya menjadi seorang freelancer di berbagai media.
Orang-orang mulai tertakjub dengan kepiawaiannya menulis tatkala The Celebrated Jumping Frog of Calaveras Country terbit. Ia cukup tersohor berkat karyanya itu. Ia pun kemudian nomaden, dari Nevada, menuju California, hingga San Fransisco. Dasar penulis, kisah perjalanannya itu pun kemudian menjadi inspirasi akan lahirnya sebuah karya lagi, kali ini terjuduli The Innocents Abroad. Dan statusnya pun bertambah: ia kian sukses dan kian tersohor kini. Ia pun kian kaya dan terkenal tatkala The Adventure of Huckleberry Finn tergulirkan ke pasaran. Namanya benar-benar meroket indah.
Ia menjadi legenda. Dan cerita kelegendaannya bermula dari karyanya itu. Ia pun menjadi inspirasi sekian ribu-juta pembaca dan penulis, baik di generasinya maupun setelahnya.
Pertanyaannya kemudian, karya apa yang melegendakanmu? Karya apa yang lahir dari rahim kita yang akan membuat kita melegenda seperti para penulis kaliber dunia yang telah menghasilkan karya hebatnya?
Ini bukan cerita tentang betapa kemaruk atau bernafsunya kita menjadi tersohor. Bukan, bukan tentang itu kawan. Tapi, ini adalah tentang niat mulia kita untuk menghasilkan karya, dan di saat yang sama, ini adalah tentang menantang diri kita sendiri untuk melompat lebih tinggi. Kita terbiasa meloncat di batasan atap yang pendek sekali.
Mengapa tak kita keluar saja dari ruangan itu, kemudian meloncat dengan hebat di lapangan luas. Dengan batasan langit sebagai atap, tentu kita akan tergerak dan teradrenalinkan semangat, untuk melompat lebih tinggi, tinggi, tinggi, dan tinggi lagi.
Ayolah, kita bisa lebih hebat dari saat sekarang ini. Ini hanya sebuah cerita tentang kemauan saja. Dengan begitu, kita akan mempunyai kemampuan. Untuk apa melegenda? Perlukah itu? Tidak. Kita tidak perlu. Tapi generasi setelah kita yang memerlukannya. Mereka butuh inspirasi, dan inspirasi selalu lebih mengena dan mereka percayai jika datang dari generasi sebelum mereka. Mereka butuh belajar banyak hal dari masa-masa yang berbeda dengan mereka. Kemudian mereka timang, bandingkan, kemudian mereka bagi lagi. Begitu seterusnya.
Jika kita tak melegenda, tentu mereka tak tahu kalau kita ada. Jika kita tak berkarya, tentu mereka tak bisa mengambil kita sebagai inspirasinya. Tentu saja, jika karya kita tak berguna bagi dunia, tentu kita tak menjadi legenda. Suatu saat, kita harus bisa seperti mereka.
Sembilan, Jangan Ingin Cepat Besar
“Engkau harus menemukan sebuah kunci; sebuah petunjuk untuk mendapatkan gaya menulismu sendiri. Sebab, yang engkau miliki hanya dua puluh enam huruf dalam abjad itu, beberapa tanda baca, dan beberapa kertas,” kata Toni Morrison.
Berapa banyak salah yang kita terakan selama proses menulis? Sering salah, berarti kreatif. Bukan, bukannya salah itu berarti kreatif. Akan tetapi, kalau kita tidak siap untuk salah, kita tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang orisinil.
Lebih bagus kita menghasilkan sejuta kesalahan karena telah mencoba melakukan banyak hal, meramu sana-sini, menggabung ini-itu, daripada selalu benar, namun sebenarnya tak pernah melakukan apa pun. Kita berhenti dan menikmati empuknya sofa, tapi yang lain sudah berkelana menjelajah semesta. Chicken stays, eagle flies.
Lakukan kreativitas, siapa pun adanya diri kita, dan di mana pun kita berada. Lakukan sesuatu yang berbeda, meskipun butuh waktu untuk melihat dan menikmati hasilnya. Berproseslah. Jangan ingin cepat besar. Mulailah dari langkah-langkah kecil yang terus-menerus diperbaiki. Memperbaiki di tiap tahapan akan lebih kelihatan nikmatnya. We can do anything, but we can’t do everything.
Sepuluh, Semua Ini Bukan Tentang Bakat
Trust your idea. Setiap ide pasti bermanfaat dan menunjukkan keunikannya. Hanya saja, mungkin ide tersebut tidak cocok digunakan untuk saat ini. Hanya yakini saja. Kuat-kuat. Di masa depan, bisa jadi ide kita justru bisa menghasilkan sesuatu yang mengguncang dan membuat para epigon kewalahan. Setiap penulis mempunyai jiwa dan kepribadian sendiri untuk menyawai karyanya menjadi sajian yang unik.
Ralph Waldo Emerson, esais yang merangkap penyair, dan filosof dari Paman Sam mengujarnya, “Bakat saja tak bisa membuat seseorang menjadi penulis. Harus ada jiwa di belakang sebuah buku; sebuah kepribadian, bawaaan maupun sifat, yang didedikasikan pada prinsip-prinsip yang dituliskan di sana, dan yang eksis untuk melihat dan menyatakan segalanya sesuai dengan prinsip itu, dan bukan sebaliknya.”
Berkarya berarti penaka bangunan. Setelah selesai, selalu akan ada para pembangun baru yang datang. Entah ia memberikan lagi sentuhan kesempurnaan, memugarnya menjadi lebih elok, ataupun yang datang membabat habis. Semua menempati bagiannya secara khusus. Ada yang memilih jalan panjang penuh kesungguhan; ada pula yang mengambil jalan pendek penuh keculasan. Itulah kemudian, kita mendapati setiap karya dan pekaryanya memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap penikmat karyanya.
Selamat datang penulis masa depan Indonesia. Mulailah berkarya, dan tunjukkan pada dunia!
Comments
Post a Comment