Ini yang membuat Penulis Malas berkarya
Di tengah dunia literasi Indonesia yang sedang berbenah, pajak penulis yang tinggi dinilai membuat penulis enggan menerbitkan buku dan meruntuhkan motivasi penulis muda untuk berkarya.
Perkara pajak royalti ini jadi pembicaraan setelah penulis laris Tere Liye memutus kontrak dengan dua penerbit besar di Indonesia, yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit, sebagai protes atas apa yang dianggapnya ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis.
Pimpinan Republika Penerbit, Syahruddin El-Fikri menyayangkan aksi penulis yang sudah menerbitkan 29 buku ini. Kendati begitu ia tidak memungkiri bahwa pajak yang dikenakan pemerintah terhadap profesi penulis memang terlalu tinggi.
"Dari sini tentu memang kalau orang yang sudah memiliki minat dan visi misi kuat untuk menjadikan penulis sebagai profesi, tentu dia tidak akan terpengaruh dengan aturan (pajak) apa pun. Tapi bagi penulis-penulis lain, bisa saja ini mendemotivasi penulis pemula. " ujar Syahruddin kepada wartawan BBC Indonesia, Ayomi Amindoni, Kamis (07/09).
Sebelum Tere Liye, lanjutnya, sudah banyak penulis yang berhenti menulis buku karena pajak tinggi yang dibebankan kepada mereka. Ia khawatir pajak yang mencekik ini membuat penulis pemula patah semangat untuk menulis.
"Ini pasti akan memberikan efek yang sangat luar biasa. Kita khawatir bahwa munculnya kasus ini akan memuat motivasi penulis menjadi berkurang, apalagi untuk penulis-penulis pemula," ujarnya.
Dalam akun facebooknya pada Selasa (05/09) lalu, Tere Liye menyebut penulis buku dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya.
Ia mencontohkan, jika royalti penulis dari penerbitan bukunya mencapai satu miliar, sekitar Rp 245juta atau 24,5% harus disetor sebagai pajak.
Angka ini diperoleh dari perhitungan bahwa Rp 50 juta pertama dikenakan tarif pajak 5%. Lalu sekitar Rp 50-150 juta berikutnya dikenakan pajak 5%. Kemudian, Rp 250-500 juta dikenakan tarif 25% dan Rp 500-1 miliar dikenkan pajak 30%. Sehingga total pajak mencapai 245 juta.
"Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan dua kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya," tulis pria bernama lengkap Darwis Tere Liye dalam notes di halaman facebooknya.
Merespon keluhan tersebut, Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Seksama mengklarifikasi bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber dikenakan pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Intinya, semuanya sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan
"Wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) besarnya adalah 50% dari royalti yang diterima dari penerbit," ujar Yoga.
Ketentuan teknis mengenai penggunaan NPPN diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni).
Namun nyatanya, tidak semua penulis bisa menggunakan privilese tersebut. Dee Lestari, penulis kondang yang seri buku Supernova-nya laris manis di pasaran, menuturkan beberapa penulis yang melaporkan pajak royalti berdasar norma tersebut malah ditolak oleh kantor pajak.
"Alasannya, norma itu hanya bisa dipakai untuk pendapatan non-royalti. Saya ikut terkejut. Pendapatan utama seorang penulis seharusnya adalah royaltinya. Jadi, kenapa justru norma itu tidak bisa dipakai untuk pendapatan utamanya?," ujar Dee melalui akun facebooknya.
Dee menilai akar masalah dari persoalan pajak royalti lantaran royalti dianggap sebagai penghasilan pasif lantaran penulis dianggap tidak keluar modal. Kecuali jika penulis menerbitkan sendiri karyanya, baru lah ia dianggap keluar modal.
"Artinya, ketika pajak menggenggam sebuah buku, ia hanya melihat modal yang keluar dari 90% aspek fisik buku saja, bukan dari kontennya," imbuh Dee.
Maka dari itu Dee mengusulkan, jika royalti tetap dianggap sebagai penghasilan pasif, maka semestinya pajaknya diperlakukan pajak pemasukan pasif. Artinya, setelah penerbit memotong pajak, selesai urusan.
Opsi kedua, jika royalti dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka semestinya dikenakan norma pada seluruh pendapatan penulis tanpa terkecuali.
"Pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis,"
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai besaran tarif pajak royalti yang dihitung sebagai pajak penghasilan (PPh) ini perlu diturunkan supaya lebih adil dan meringankan profesi penulis.
Image caption Ditjen Pajak mengklaim pajak yang ditetapkan sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan
Yustinus menjelaskan, pada umumnya, jatah royalti penulis adalah sebesar 10% dari penjualan buku. Jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp150-250 juta, maka si penulis setidaknya mendapat penghasilan jual buku setara Rp 1,5 miliar - Rp 2,5 miliar.
"Andai satu buku harganya Rp 100 ribu, maka lebih kurang harus menjual 15 ribu eksemplar," ujar Yustinus.
Model bisnis dalam industri perbukuan juga punya implikasi pajak. Bagi pengusaha bisnis buku, ia diwajibkan membayar PPh 1% dari omzet jika belum melebihi Rp 4.8 miliar. Jika sudah melebihi angka itu, ia dikenakan PPn 10%.
"Termasuk kewajiban memotong pajak atas gaji karyawan dan melaporkan tiap bulan," jelasnya.
Lalu apakah kondisi ini mengancam bisnis penerbitan buku?
Bukan rahasia lagi bahwa dunia perbukuan memang kompleks. Syahruddin menjelaskan penjualan buku harus dibagi untuk toko buku, distributor, penerbit dan penulis. Secara keseluruhan, jatah untuk toko buku sekitar 40-50%, sementara yang lain terengah-engah.
"Dari jumlah itu porsi untuk penerbit paling sekitar 5% saja."
Karena itu, banyak penulis yang kemudian memilih untuk menerbitkan bukunya sendiri atau dengan cara-cara alternatif, seperti menjual secara daring.
Kendati begitu, ia menilai ini kondisi ini tidak akan mengancam potensi industri penerbitan buku. Pasalnya, mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih untuk membaca buku secara fisik ketimbang versi digital. Meski ada ada pergeseran kebiasaan membaca, namun trennya tidak signifikan.
Di sisi lain, literasi Indonesia juga semakin membaik dalam lima tahun terakhir. Data IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) mencatat jumlah buku yang diterbitkan pada tahun 2016 mencapai 63.000. Sementara tahun 2015 sekitar 43.000 - 45.000, meningkat signifikan ketimbang tiga tahun sebelumnya yang sekitar 25.000 judul.
"Ini menunjukkan geliat masyarakat Indonesia untuk melek buku, untuk membaca buku, sebenarnya sudah lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Kalau melihat dari jumlah buku, sudah mulai membaik, walaupun jika dibanding negara lain kita kalah jumlah," kata dia.
Ia mencontohkan, satu orang di Jepang membaca empat judul buku. Sementara di Indonesia, satu judul buku dibaca oleh tujuh orang. "Jadi kita kebalikannya, jauh sekali." (dariberbagaisumber)
Perkara pajak royalti ini jadi pembicaraan setelah penulis laris Tere Liye memutus kontrak dengan dua penerbit besar di Indonesia, yakni Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit, sebagai protes atas apa yang dianggapnya ketidakadilan pajak yang mencekik profesi penulis.
Pimpinan Republika Penerbit, Syahruddin El-Fikri menyayangkan aksi penulis yang sudah menerbitkan 29 buku ini. Kendati begitu ia tidak memungkiri bahwa pajak yang dikenakan pemerintah terhadap profesi penulis memang terlalu tinggi.
"Dari sini tentu memang kalau orang yang sudah memiliki minat dan visi misi kuat untuk menjadikan penulis sebagai profesi, tentu dia tidak akan terpengaruh dengan aturan (pajak) apa pun. Tapi bagi penulis-penulis lain, bisa saja ini mendemotivasi penulis pemula. " ujar Syahruddin kepada wartawan BBC Indonesia, Ayomi Amindoni, Kamis (07/09).
Sebelum Tere Liye, lanjutnya, sudah banyak penulis yang berhenti menulis buku karena pajak tinggi yang dibebankan kepada mereka. Ia khawatir pajak yang mencekik ini membuat penulis pemula patah semangat untuk menulis.
"Ini pasti akan memberikan efek yang sangat luar biasa. Kita khawatir bahwa munculnya kasus ini akan memuat motivasi penulis menjadi berkurang, apalagi untuk penulis-penulis pemula," ujarnya.
Pajak dua empat kali lipat
Dalam akun facebooknya pada Selasa (05/09) lalu, Tere Liye menyebut penulis buku dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya.
Ia mencontohkan, jika royalti penulis dari penerbitan bukunya mencapai satu miliar, sekitar Rp 245juta atau 24,5% harus disetor sebagai pajak.
Angka ini diperoleh dari perhitungan bahwa Rp 50 juta pertama dikenakan tarif pajak 5%. Lalu sekitar Rp 50-150 juta berikutnya dikenakan pajak 5%. Kemudian, Rp 250-500 juta dikenakan tarif 25% dan Rp 500-1 miliar dikenkan pajak 30%. Sehingga total pajak mencapai 245 juta.
"Penulis buku membayar pajak 24 kali dibanding pengusaha UMKM, dan dua kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya," tulis pria bernama lengkap Darwis Tere Liye dalam notes di halaman facebooknya.
Merespon keluhan tersebut, Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Seksama mengklarifikasi bahwa pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber dikenakan pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Intinya, semuanya sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan
"Wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) besarnya adalah 50% dari royalti yang diterima dari penerbit," ujar Yoga.
Ketentuan teknis mengenai penggunaan NPPN diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni).
Namun nyatanya, tidak semua penulis bisa menggunakan privilese tersebut. Dee Lestari, penulis kondang yang seri buku Supernova-nya laris manis di pasaran, menuturkan beberapa penulis yang melaporkan pajak royalti berdasar norma tersebut malah ditolak oleh kantor pajak.
"Alasannya, norma itu hanya bisa dipakai untuk pendapatan non-royalti. Saya ikut terkejut. Pendapatan utama seorang penulis seharusnya adalah royaltinya. Jadi, kenapa justru norma itu tidak bisa dipakai untuk pendapatan utamanya?," ujar Dee melalui akun facebooknya.
Dee menilai akar masalah dari persoalan pajak royalti lantaran royalti dianggap sebagai penghasilan pasif lantaran penulis dianggap tidak keluar modal. Kecuali jika penulis menerbitkan sendiri karyanya, baru lah ia dianggap keluar modal.
"Artinya, ketika pajak menggenggam sebuah buku, ia hanya melihat modal yang keluar dari 90% aspek fisik buku saja, bukan dari kontennya," imbuh Dee.
Maka dari itu Dee mengusulkan, jika royalti tetap dianggap sebagai penghasilan pasif, maka semestinya pajaknya diperlakukan pajak pemasukan pasif. Artinya, setelah penerbit memotong pajak, selesai urusan.
Opsi kedua, jika royalti dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka semestinya dikenakan norma pada seluruh pendapatan penulis tanpa terkecuali.
"Pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara benar-benar dapat menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis,"
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai besaran tarif pajak royalti yang dihitung sebagai pajak penghasilan (PPh) ini perlu diturunkan supaya lebih adil dan meringankan profesi penulis.
Image caption Ditjen Pajak mengklaim pajak yang ditetapkan sudah menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan
Yustinus menjelaskan, pada umumnya, jatah royalti penulis adalah sebesar 10% dari penjualan buku. Jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp150-250 juta, maka si penulis setidaknya mendapat penghasilan jual buku setara Rp 1,5 miliar - Rp 2,5 miliar.
"Andai satu buku harganya Rp 100 ribu, maka lebih kurang harus menjual 15 ribu eksemplar," ujar Yustinus.
Model bisnis dalam industri perbukuan juga punya implikasi pajak. Bagi pengusaha bisnis buku, ia diwajibkan membayar PPh 1% dari omzet jika belum melebihi Rp 4.8 miliar. Jika sudah melebihi angka itu, ia dikenakan PPn 10%.
"Termasuk kewajiban memotong pajak atas gaji karyawan dan melaporkan tiap bulan," jelasnya.
Penerbit terengah-engah
Lalu apakah kondisi ini mengancam bisnis penerbitan buku?
Bukan rahasia lagi bahwa dunia perbukuan memang kompleks. Syahruddin menjelaskan penjualan buku harus dibagi untuk toko buku, distributor, penerbit dan penulis. Secara keseluruhan, jatah untuk toko buku sekitar 40-50%, sementara yang lain terengah-engah.
"Dari jumlah itu porsi untuk penerbit paling sekitar 5% saja."
Karena itu, banyak penulis yang kemudian memilih untuk menerbitkan bukunya sendiri atau dengan cara-cara alternatif, seperti menjual secara daring.
Kendati begitu, ia menilai ini kondisi ini tidak akan mengancam potensi industri penerbitan buku. Pasalnya, mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih untuk membaca buku secara fisik ketimbang versi digital. Meski ada ada pergeseran kebiasaan membaca, namun trennya tidak signifikan.
Di sisi lain, literasi Indonesia juga semakin membaik dalam lima tahun terakhir. Data IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) mencatat jumlah buku yang diterbitkan pada tahun 2016 mencapai 63.000. Sementara tahun 2015 sekitar 43.000 - 45.000, meningkat signifikan ketimbang tiga tahun sebelumnya yang sekitar 25.000 judul.
"Ini menunjukkan geliat masyarakat Indonesia untuk melek buku, untuk membaca buku, sebenarnya sudah lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Kalau melihat dari jumlah buku, sudah mulai membaik, walaupun jika dibanding negara lain kita kalah jumlah," kata dia.
Ia mencontohkan, satu orang di Jepang membaca empat judul buku. Sementara di Indonesia, satu judul buku dibaca oleh tujuh orang. "Jadi kita kebalikannya, jauh sekali." (dariberbagaisumber)
Comments
Post a Comment