Makalah Konflik Laut China Selatan - UNIVERSITAS GUNADARMA
Makalah Konflik Laut China Selatan
Oleh :
Ilham Noor Habibie
NPM : 53416432
Kelas : 1IA15
TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
2016
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Depok, 17 Januari 2017
Penyusun
Ilham Noor Habibie
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dunia internasional ditengah masalah yang cukup kompleks kembali di perumit oleh kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari samudra pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta km². Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudra. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.
Di Laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi, kebanyakan darinya di daerah Kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly tersebar seluas 810 sampai 900 km yang meliputi beberapa 175 fitur insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya menjadi Kepulauan Taiping (Itu Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian 3,8 m. Pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan, yang membentuk kepulauan, jumlahnya mencapai ratusan.
Laut dan pulau-pulau yang sebagian besar tidak berpenghuni tersebut di klaim oleh beberapa negara, klaim tersebut jelas tercermin pada beragam nama yang digunakan untuk menyebut pulau-pulau dan laut tersebut.
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah (searah jarum jam dari utara) Republik Rakyat Cina (RRC) termasuk (Makau dan Hongkong), Republik Cina (Taiwan), Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Vietnam. Negara – Negara yang berbatasan inilah yang kemudian memperebutkan wilayah tersebut.
2. Rumusan Masalah
l Apa bentuk kebijakan luar negeri Indonesia pada saat ini terkait konflik di Laut Cina Selatan, dilihat melalui pendekatan diplomasi preventif?
l Bagaiamana proses sengketa dan konflik antara Negara ASEAN dan Negara Asia Timur.
l Apa landasan Hukum Internasional terhadap permasalahan sengketa di Asia Tenggara
3. Tujuan Penulisan
l memahami lebih jauh mengenai langkah konkrit yang diambil berdasarkan keputusan pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia terkait konflik di kawasan Laut Cina Selatan
l Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah
BAB II
1. SEJARAH KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan potensi geografis yang sangat besar. Sumber daya alam yang dimiliki Laut Cina Selatan berupa minyak bumi dan gas alam yang terkandung di dalamnya dengan jumlah yang cukup besar, serta memiliki potensi geografis, karena kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional).
Kawasan ini juga banyak dilalui oleh Armada Angkatan Laut, baik berupa kapal tangker maupun Armada Angkatan Laut dari negara-negara maju, seperti dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea yang melintasi laut itu.
Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun.
Hal ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2013. Dimana terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di perairan Laut Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan-kepentingan negara-negara besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan-kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di dalam wilayah Laut Cina Selatan tersebut.
Laut Cina Selatan terbentuk sebagai sebuah kepulauan. Dimana, benih-benih perselisihan yang terdapat di Lautan itu, banyak di sebabkan oleh latar belakang historis, baik dari segi penamaan terhadap lautan itu maupun batas-batas kepemilikannya. Dalam hal penamaan misalnya, Republik Rakyat China (RRC), menyebutnya dengan nama Laut Selatan saja. Filipina, menyebutnya dengan nama Laut Luzón (Laut Filiphina Barat), karena keberatan dengan nama Laut Cina Selatan, sebab seolah-olah kawasan itu milik Republik Rakyat Cina (RRC). Sedangkan Vietnam menyebutnya dengan nama Laut Timur. Dari beberapa negara yang mengklaim Laut Cina Selatan, diketahui Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam adalah yang begitu gencar dalam mempertahankan kawasan ini.
Perairan Laut Cina Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat Cina (RRC) berebut kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik yang sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di kawasan Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun 1947 dan terus berlanjut hingga saat ini tahun 2013. Di dalam kawasan Laut Cina Selatan terdapat kepulauan Spartly dan Paracel yang tergolong titik rawan titik rawan dalam soal klaim teritorial. Kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel adalah yang menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim (claimantans). Tetapi yang lebih di sorot adalah kepulauan Spartly yang kemudian menjadi isu dominan Internasional.
Pada Desember 1947 Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan menerbitkan peta yang tidak hanya memuat kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus (yang juga di sebut garis-garis berbentuk huruf U) di seputar wilayah perairan Laut Cina Selatan. Pihak Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim saat peta tersebut diterbitkan pertama kali tidak ada satupun negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga terus digunakan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC), sejak setelah kemenangan Partai Komunis 1949. Meski demikian, Republik Rakyat Cina (RRC) tidak pernah secara terbuka menyatakan detail klaimnya tersebut. Pada tahun 1976 pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) secara paksa mengambil alih dan menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam. Kepulauan itu berada di sebelah Utara kepulauan Spartly. Keduanya sama-sama di yakini kaya akan sumber daya alam gas dan minyak bumi.
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, khususnya sengketa atas kepemilikan kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel mempunyai riwayat yang panjang. Berawal dari konflik yang disebabkan oleh klaim-klaim mengenai perbatasan di wilayah perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan. Sejarah menunjukan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara di antaranya Ingris, Perancis, Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei Darussalam, Filiphina,dan Taiwan. Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan. Diawali oleh tuntutan Republik Rakyat Cina (RRC) atas seluruh pulau-pulau di kawasan Laut Cina Selatan yang mengacu kepada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya.
Menurut Republik Rakyat Cina (RRC) sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Namun Vietnam membantahnya dan menganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Vietnam menyebutkan kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif di dudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu negara.
Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Republik Rakyat Cina (RRC) di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir Vietnam Selatan menduduki kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus di kepulauan Spartly. Selain Vietnam Selatan kepulauan Spartly juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan Filiphina tahun 1971, alasan Filiphina menduduki kepulauan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang sedang tidak dimiliki oleh negara manapun.
Filiphina juga menunjuk perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap kepulauan Spartly. Malaysia juga menduduki beberapa gugus kepulauan Spartly yang di namai terumbu layang. Menurut Malaysia, langkah itu di ambil berdasarkan peta batas landasan kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari kepulauan Spartly. Sementara Brunei yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Ingris juga 1 januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim, namun Brunei hanya mengklaim perairan dan bukan gugus pulau. Sampai saat ini negara yang aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filiphina dan Malaysia. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya akan menjadi semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengolaan yang lebih berhati-hati.
Dimulai pada tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spartly, Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC) berperang di Lautan memperebutkan gugusan batu karang Johnson (Johnson South Reef). Saat itu Angkatan Laut Vietnam di halang-halangi oleh dua puluh kapal perang milik Republik Rakyat Cina (RRC) yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan, sehingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan kurang lebih sebanyak 70 prajurit Angkatan Laut Vietnam tewas. Sengketa perbatasan yang memicu perang besar juga terjadi di perbatasan darat kedua negara pada tahun 1979 dan 1984.
Selain itu juga seperti yang terjadi antara Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam yakni pendudukan Republik Rakyat Cina (RRC) atas Karang Mischief 1995, dan baku tembak antara kapal perang Republik Rakyat Cina (RRC) dan Filiphina didekat pulau Campones 1996, menunjukan sengketa tersebut bisa tersulut menjadi konflik terbuka sewaktu-waktu.Sampai saat ini konflik klaim tumpang tindih yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan masih terus berlangsung dan menjadi perdebatan antara beberapa negara di kawasan ASEAN melalui perundingan diplomasi.
Melihat situasi yang semakin rumit, maka ASEAN mulai bertindak dan ikut turun tangan menanggapi persoalan klaim teritorial yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan. Karena jika konflik ini tidak ditanggapi dengan serius dan dibiarkan begitu saja maka segala bentuk kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan bisa kehilangan daya dukung dan tidak berkelanjutan selain itu juga dapat megancam keaman negara-negara ASEAN, dan sekitarnya.
Sepuluh negara anggota ASEAN sepakat mempercepat proses implementasi perilaku yang harus menjadi pegangan sejumlah negara yang terlibat sengketa Laut Cina Selatan. Yakni dengan diadakannya Declaration on the Conduct of Parties (DOC) yaitu hukum yang mengikat pihak-pihak yang bertikai. ASEAN juga menunjukkan keinginan untuk memulai penyusunan dan pembahasan kode etik DOC, yang kemudian akan dibahas dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan diterapkan di wilayah perairan itu.
Aktor yang berperan didalamnya tidak hanya Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC), tetapi juga melibatkan beberapa negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filiphina, serta Taiwan. Klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat.
Selain itu Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas.Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kawasan Laut Cina Selatan. Kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar masalah ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas Laut Teritorial atau Landasan Kontinen. Persoalannya menjadi semakin kursial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan karena masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing negara.
2. Profil Kepulauan Spartly dan Proses Persengketaan menjadi Konflik
Kepulauan Spartly diperkirakan memiliki luas 244.700 km2 yang terdiri dari sekitar 350 pulau, yang kebanyakan merupakan gugusan karang. Wilayah ini merupakan batas langsung negara Cina dan negara-negara ASEAN. Kepulauan Spartly terletak di sebelah Selatan Cina dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah barat Filipina, sebelah utara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Kepulauan ini sebenarnya bukan merupakan yang layak huni, akan tetapi pulai ini memiliki banyak potensi SDA dan geografis yang sangat strategis. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Selain itu kawasan ini merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu mendukung perekonomian negara.
Penemuan minyak dan gas bumi pertama dikepulauan ini adalah tahun 1968. Menurut data The Geology and Mineral Resourccs Ministry of the People’s Republic of China (RRC) memperkirakan bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spratly adalah sekitar 17,7 miliar ton. Fakta tersebut menempatkan kepulauan Spartly sebagai tempat tidur cadangan minyak terbesar keempat di dunia. Letak strategis lintas laut kapal dan kekayaan SDA lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga sangat mempengaruhi sengketa dan konflik di antara negara-negara bersengketa. Kapal-kapal penangkap ikan yang menangkap ikan disana menjadi salah satu penyebab konflik akibat perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah tersebut
Tahun 1947 RRC adalah negara yang pertama mengklaim Laut Cina Selatan dengan membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan. Meskipun demikian belum ada tanda-tanda pendudukan yang dilakukan oleh RRC di wilayah tersebut pada saat itu. Negara yang lebih dahulu melakukan pendudukan justru antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia dan Taiwan.
Konflik akibat sengketa ini cukup banyak terjadi. Dimulai pada konflik bersenjata 1974 antara Cina dan Vietnam yang terjadi kedua kalinya pada 1988. Selain itu pernah terjadi tembak menembak kapal perang antara RRC dan Filipina dekat Pulau Campones tahun 1996. Situasi yang dapat berujung konflik kembali terjadi pada tahun 2011. Pada waktu itu pasukan militer RRC gencar melakukan pendudukan dan latihan militer di sekitar pulau sengketa. Kemudian Vietnam melayangkan protes kepada Cina atas tindakan tersebut. Namun situasi makin memanas setelah kapal minyak Petro Vietnam dirusak oleh militer Cina pada Mei dan Juni 2011. Vietnam pun melakukan pembalasan dengan mengadakan kegiatan militer rutin tahunan di sekitar Laut Cina Selatan pada Juni 2011.
Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan di antaranya Declaration On the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada 4 November 2002. Namun upaya tersebut tidak diindahkan lagi oleh para pihak bersengketa. Ini akibat prinsip yang keras dan perbedaan pemahaman dalam upaya menyelesaikan sengketa ini. Konflik bersenjata yang dilancarkan pihak tersebut di atas merupakan salah satu wujud tidak dipatuhinya DOC.
3. Usaha menyelesaikan sengketa dan konflik antara pihak Negara yang terlibat
Tahun 2002, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties In South China Sea. Pada bulan maret 2005, Cina-Vietnam-Filipina mendatangani MoU kerjasama dalam bidang ekspolorasi energi dan sepakat untuk menghentikan klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly. Pada tahun 2006 China-ASEAN Joint Working Group melakukan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak (RRC dan ASEAN) berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.
Upaya ini memang cukup efektif dalam penyelesaian sengketa jika dilihat dari situasi setelah perjanjian. Selain itu beberapa perjanjian multilateral juga berupa mediasi yang dipelopori oleh mediator sehingga perjanjian dapat berjalan lebih baik. Namun tidak sepenuhnya berjalan dengan baik lagi-lagi karena tidak dicapainya peta kepemilikan pulau dan banyaknya pihak yang melanggar sendiri perjanjian tersebut, seperti terjadinya perusakan kapal oleh pihak-pihak tertentu.
Salah satu yang belum dilakukan dalam perjanjian itu adalah kemungkinan untuk melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi secara bersama. Padahal perjanjian ini dapat menjadi usaha alternatif untuk meredam konflik di Kepulauan Spartly.
Dalam hukum internasional, hal ini memang dimungkinkan untuk dilakukan. Perjanjian semacam ini dapat dilihat misalnya : perjanjian Indonesia dengan Australia dalam pengelolaan dan pembagian di Blok Cepu. Upaya ini dapat menjadi solusi karena jika dilihat latar belakang permasalahan ini adalah karena potensi minyak dan gas bumi yang berlimpah.
Upaya penyelesaian sengketa sudah lama dilakukan, namun sengketa masih saja berlanjut hingga sekarang. Akibatnya banyak terjadi konflik antara negara bersengketa yang sebenarnya merupakan negara bertetangga, bahkan beberapa di antaranya konflik bersenjata. Dalam perkembangan terakhir, Amerika Serikan dibawah Presiden Barack Obama tidak malu-malu lagi menampakkan minatnya terhadap wilaya Laut Cina Selatan dengan mengerahkan 60% kekuatan militernya di Asia. Dan Filipina sebagaimana banyak diberitakan, bersedia menyediakan beberapa pelabuhannya untuk pangkalan militer Amerika. Hal ini membuat RRC khawatir dan mulai membangun kekuatan militernya dengan antara lain membangun kapal induk dan mempercepat pembangunan rudal jarak jauhnya.
Kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan, berpotensi untuk menjadi tempat pertama meletusnya konflik bersenjata di wilayah Asia Tenggara. Penyebabnya adalah sengketa wilayah antar Negara yang sudah puluhan tahun belum terselesaikan dan campur tangannya negara-negara adidaya yang sarat dengan kepentingan ekonomi globalnya
4. Upaya Indonesia Menyelesaikan Konflik di Kawasan Laut Cina Selatan Dalam LajurDiplomasi Preventif
Indonesia sebagai negara penengah yang ditunjuk untuk menangani konflik di kawasan Laut Cina Selatan juga memiliki latar belakang tersendiri.Keterlibatan Indonesia bukan tanpa alasan yang sifatnya strategis.Indonesia diharuskan untuk turut terlibat demi mencapai kepentingan ekonomi nasional.Lebih lanjut, apabila kawasan di Laut Cina Selatan dapat kembali tertib dan bebas dari segala ancaman, maka aktivitas perdagangan dan eksplorasi alam Indonesia di kawasan ini pun dapat berjalan lancar.
Terlepas dari upaya Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi nasional, ancaman lain terhadap pelanggaran hukum laut, kekerasan navigasi serta kedaulatan menjadi kepentingan lain untuk senantiasa diperjuangkan. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pertimbangan bahwa apabila terdapat kerusakan lingkungan di kawasan Laut Cina Selatan akan secara tidak langsung turut berdampak bagi ekosistem di perairan Indonesia. Lain hal ketika Indonesia berusaha melakukan sekuritisasi disekitar Laut Natuna¾yang berlimpah akan gas alam.
Kepentingan Indonesia untuk menarik garis perbatasan ini disebabkan oleh ancaman dari Cina , yang apabila tetap bersikeras mempertahankan bukti historis melalui peta yang dibuat pada tahun 1947, akan menyebabkan interupsi pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta landas kontinen Indonesia.
Oleh karena itu, peran Indonesia ditunjukkan melalui sejumlah perundingan yang dibentuk diantara negara-negara yang bertikai.Salah satu wujud upaya Indonesia adalah dengan melaksanakan South China Sea Informal Meetings yang diadakan hampir setiap tahun.
Signifikansi pertemuan ini menghasikan sebuah kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara yang bertikai untuk mendirikan sebuah wilayah politik guna melancarkan hubungan diplomatik dan kerjasama satu sama lain. Selain itu, usaha untuk meningkatkan confidence building measures menjadi bagian penting disetiap agenda pertemuan. Selain South China Sea Informal Meetings, upaya Indonesia juga diwujudkan dalam sejumlah perundingan damai lainnya, seperti Technical Working Groups (TWGs), Groups of Experts (GEs) dan Study Groups (SGs).
Penggunaan mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang cukup determinan dalam penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara terkait menyadari bahwa konfrontasi militer yang dilakukan sebelumnya hanya akan berdampak buruk bagi semua pihak serta anggaran biaya yang terlalu besar.
Sebagai negara yang memprakarsai pola interaksi second track diplomacy dalam upaya penyelesaian konflik di kawasan Laut Cina Selatan, partisipasi Indonesia diakui dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari celah konsolidasi politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang tidak hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang berada di wilayah sekitarnya melainkan turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.
BAB III
1. Kesimpulan
Konflik di Kepulauan Spratly muncul akibat klaim yang dilakukan oleh 6 negara yaitu Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam di mana masing-masing negara memiliki versinya masing-masing. Sengketa ini muncul karena dipicu oleh pernyataan Cina tentang kepemilikan wilayah tersebut pada tahun 1971.
Letaknya yang strategis dan kandungan kekayaan yang melimpah berupa minyak dan gas bumi membuat keenam negara yang bersengketa berusaha mati-matian dalam memperoleh wilayah kepulauan ini.
Upaya penyelesaian konflik ini sudah dilakukan sejak tahun 1970 baik melalui upaya-upaya bilateral maupun multilateral. Dalam upaya-upaya tersebut telah disepakati beberapa hal seperti kerjasama pengelolaan wilayah Kepulauan Spratly, maupun pembagian sumber daya alam. Akan tetapi konflik ini belum selesai karena belum ada kesepakatan mengenai hak kepemilikan wilayah Kepulauan tersebut. ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara ikut berperan aktif dalam upaya penyelesaian konflik di wilayah tersebut. Indonesia sebagai negara yang cinta damai juga ikut menginisiasi dialog serta pertemuan-pertemuan multilateral untuk mempercepat proses penyelesaian konflik di Kepulauan Spratly.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam sengketa Kepualauan Spratly semakin menambah ketegangan. Sikap Amerika yang ingin terlibat dalam sengketa Kepulauan Spratly tidak terlalu mengejutkan. Hal ini mengingat kondisi geopolitik Kepulauan Spratly di Asia Tenggara “menggoda” setiap negara untuk menguasai kepulauan ini.
Kepulauan Spratly memiliki sumber daya hayati (perikanan) dan sumber daya non hayati (mineral , minyak, gas dan tambang) yang sangat melimpah. Selain itu, letaknya yang strategis membuat negara yang menguasai Kepulauan Spratly akan dengan mudah mengontrol rute maritime yang menghubungkan Pasifik atau Asia Timur dengan Samudera Hindia. Dibalik alasan menjaga keamanan, Amerika mungkin memiliki “agenda lain” atas Kepulauan Spratly.
Ikut campurnya AS atas sengketa Kepulauan Spratly, mengindikasikan bahwa Amerika tidak ingin China memperluas pengaruhnya terutama di wilayah Asia. Apalagi belum lama ini China terus meningkatkan belanja pertahanannya. Jika Amerika terus membiarkan China memperluas pengaruhnya baik melalui pertahanan, politik maupun ekonomi, maka kepentingan Amerika di wilayah Asia bisa terganggu
DAFTAR PUSTAKA
l https://www.iska-aulya07.blogspot.co.id/2014/10/makalah-konflik-klaim-laut-cina-selatan.html
l http://militaryanalysisonline.blogspot.com/2013/09/sengketa-kepulauan-spratly-potensi.html
l http://rachmijulyanitambunan.blogspot.co.id/2014/11/konflik-laut-cina-selatan-geografi-asia.html
Comments
Post a Comment